Mengapresiasi
diadakannya Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) yang diadakan oleh para ulama,
akademisi dan pemerhati kajian tafsir dan ilmu Alquran pada tanggal 21 s/d 24
Mei di Serang, Banten. Dalam upaya mencari terobosan pemikiran Mendialogkan
Teks Alquran dengan Realitas sebagai misi dari pesan Alquran itu sendiri. Sehingga
Alquran dapat dipahami sebagai solusi problematika kehidupan manusia, sepanjang
masa. Walau demikian, bukan berarti upaya ini menafikan metode tafsir yang
sudah ada. Dimana lebih tepatnya, upaya ini dapat dikatakan sebagai suatu
bentuk penyempurnaan terhadap metode tafsir yang telah ada. Sebagai semangat,
dalam mengikuti perkembangan realita kehidupan manusia yang terus berubah
secara dinamis. Sehingga dengan demikian, metode tafsir alternatif yang
dihadirkan sejatinya memberikan ruang yang luas bagi ijtihad dan qiyas. Ruang
yang selama ini sepertinya tidak cukup luas, diberikan oleh metode-metode
tafsir yang telah ada. Karena sesungguhnya Alquran memiliki multilevel makna,
sehingga dalam hal ini takwil dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk
menyelami kandungan makna Alquran yang tersembunyi di balik teks sebuah ayat.
Juga dengan harapan agar takwil yang selama ini secara luas banyak digunakan
oleh para sufi dan filosof Muslim, sebaiknya tidak lagi dinilai sebagai tafsir kiri. Tetapi dinilai sebagai
terobosan yang baik, untuk ditiru dalam konteks mengeksplorasi makna-makna ayat.
Dengan dasar pemikiran seperti itu,
sebagai seorang muslim yang mencintai Alquran. Penulis mencoba urun rembug, mencoba menawarkan suatu “pemikiran
baru”. Agar para ulama, kalangan akademisi dan para pemerhati kajian tafsir dan
ilmu Alquran dalam hal ini tidak lupa untuk mencoba memperhatikan sisi lain
dari Alquran. Berupa angka atau numerik yang keberadaannya sebenarnya tidak
terpisahkan dari Alquran, selain dari teks atau huruf-huruf sebagai pesan
tertulis Alquran. Baik itu angka yang berhubungan dengan jumlah ayat, jumlah
surat maupun dengan jumlah juz atau nomor urut dari surat, juz dan yang
lainnya. Dengan angka kita dapat berhitung, dan melakukan pengukuran-pengukuran
untuk mendapatkan ketepatan dari sesuatu hal yang ingin diketahui secara kebih
tepat. Dan dengan huruf kita dapat menuliskan uraian-uraian, sebagai penjelasan
dari sebuah hasil kajian. Dimana pesan untuk memperhatikan keberadaan angka
sebagai sisi lain dari Alquran, sebagai penyeimbang dari keberadaan huruf. Sebenarnya
jauh-jauh hari telah ditunjukkan-Nya di dalam ritual peribadatan, seperti pada ibadah
shalat dan thawaf.
Di akhir ibadah shalat baik fardhu
maupun sunnah, diiringi dengan menolehkan kepala ke arah kanan dan ke arah
kiri. Kita akan menutupnya dengan mengucapkan doa, memohon kepada-Nya agar Dia
memberi keselamatan, rahmat dan keberkahan. Karena ibadah shalat merupakan
perintah-Nya di dalam Alquran. Maka adanya gerak kepala ke arah kanan dan ke arah
kiri. Seharusnya kita lihat sebagai isyarat dari-Nya untuk memperhatikan adanya
“gerak” di dalam kitab Alquran. Gerak ke arah kanan adalah cerminan dari gerak
angka. Ketika kita menulis bilangan 2013, maka gerak angka ke arah kanan akan
dimulai oleh angka 2, 0, 1 dan 3. Gerak ke arah kiri merupakan cerminan dari
gerak penulisan huruf-huruf hijaiyah di dalam Alquran. Mengapa menjadi penting
memperhatikan gerak. Karena sebenarnya hidup adalah gerak, dan gerak merupakan
dinamika dari kehidupan manusia itu sendiri. Adanya kajian terhadap angka dan
huruf, merupakan suatu bentuk keseimbangan dalam upaya memahami pesan Alquran
yang harus dilakukan. Karena pada dasarnya Allah juga menciptakan segala
sesuatu secara seimbang, sebagaimana dikatakan-Nya pada QS.67 Al Mulk di ayat ke 3.
Jadi doa di akhir shalat yang
diiringi dengan gerak kepala ke arah kanan dan kiri, mengandung pesan adanya angka
dan huruf, atau huruf dan angka. Huruf berkaitan dengan kegiatan membaca, dan
angka berkaitan dengan kegiatan berhitung. Karena setelah ibadah shalat itu
berakhir, kita akan kembali kepada kehidupan yang sebenarnya, kembali
bersosialisasi di dalam kehidupan bermasyarakat. Tempat dimana segala macam
dosa dan kesalahan dapat terjadi disitu, bukan di dalam ritual shalat. Maka dengan
berbekal pengenalan terhadap huruf dan angka. Berbekal kecakapan membaca segala
situasi dan kondisi, berbekal kecakapan memperhitungan segala kemungkinan yang
akan terjadi. Diharapkan setiap muslim dapat menjadi orang-orang yang cerdas.
Orang-orang yang selalu dapat keluar dengan selamat dari setiap permasalahan kehidupan
yang dihadapi, disertai dengan rahmat dan keberkahan dari-Nya. Karena membaca
dan berhitung, atau berhitung dan membaca sudah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupannya. Renungkan dalam-dalam, bahwa setiap keputusan apapun
yang diambil oleh seseorang di dalam hidupnya. Tidak akan pernah terlepas dari
adanya proses membaca dan berhitung. Tidak akan pernah terlepas dari
keterkaitannya dengan angka dan huruf, atau huruf dan angka. Demikian juga
dalam upaya memahami pesan serta petunjuk-Nya di dalam Alquran, agar kita
selamat. Dalam arti dapat mendekati kebenaran yang sesungguhnya.
Pada ibadah thawaf, gerak
mengelilingi Ka’abah harus di mulai dari sudut yang terdapat Hajarul Aswad.
Mengapa Hajarul Aswad diletakan pada sudut Ka’bah, dan bukan ditengah-tengah bidang
dari dinding Ka’abah. Bukankah pada sudut suatu bangunan seharusnya diletakan
tiang, sebagai pengokoh seluruh dinding bangunan? Bukan membuat lubang untuk
meletakan Hajarul Aswad? Tetapi dengan diletakkannya batu itu pada sudut
bangunan, maka ketika seorang yang akan memulai ibadah thawaf. Sebenanya dia akan
melihat dua sisi dinding Ka’abah, kanan dan kiri. Tidak demikian halnya jika
Hajarul Aswad itu diletakkan ditengah-tengah bidang dari dinding Ka’abah. Seorang
yang akan memulai thawaf hanya akan melihat satu bidang dinding itu saja. Sebagai
sebuah bangunan yang menyerupai bentuk
kubus, dinding Ka’abah terdiri dari empat sisi yang tegak berdiri. Perintah-Nya
untuk thawaf mengelilingi bangunan Ka’abah. Secara simbolik adalah perintah
untuk melihat dan mencoba memahami sisi lain dari petunjuk serta keluasan
ilmu-Nya di dalam Alquran, yang belum terungkap. Adanya empat sisi pandang yang
berbeda, mengingatkan kita kepada empat imam; Hanafi, Maliki, Hambali dan
Syafi’i, di dalam khazanah keislaman. Dimana semuanya juga berkiblat kepada
Alquran, dan tidak seorang pun menganggap bahwa pendapatnya adalah yang paling
benar di antara yang lainnya. Karena pada dasarnya mereka menyadari, bahwa
banyak sisi lain dari Alquran yang dapat dilihat dan dipelajari. Mengapa Ka’abah
sebagai kiblat dari umat Islam ketika melaksanakan ibadah shalat, dikatakan
sebagai simbol dari Alquran. Karena sesungguhnya manusia memang membutuhkan
simbol-simbol, di dalam menjalankan kehidupannya. Sebagaimana angka merupakan
simbol dari bilangan, dan huruf simbol bunyi. Dengan berkiblat ke arah Ka’abah
ketika melaksanakan ibadah shalat. Banyak orang mengatakan bahwa orang Islam
juga menyembah batu. Terhadap pernyataan seperti ini tidak sepantasnya kita
harus marah. Tetapi justru kita harus dapat menjawab dan menerangkan dengan
baik kepada mereka yang tidak memahami, karena sesungguhnya Allah memang melarang
kita untuk menyembah batu. Batu merupakan salah satu judul surat di dalam
Alquran, yaitu; QS. 15 Al Hijr (BATU) dengan jumlah ayat
sebanyak 99 ayat. Bilangan 99 sebagai jumlah ayat, mengingatkan kita kepada
Al-asmaa ul-husna sebagai nama baik yang juga berkaitan dengan sifat Allah. Kalau
kedua jumlah bilangan ini dijumlahkan, maka ia akan menjadi; 15+99 = 114.
Bilangan ini merupakan jumlah seluruh surat di dalam Alquran. Dengan demikian
sesungguhnya umat Islam berkiblat kepada Alquran di dalam ibadah shalat, dan
dalam kehidupannya sehari-hari.
Demikian juga ketika dikatakan pada
QS. 3 Ali Imraan ayat 96 bahwa; rumah yang awal pertama dibangun untuk
peribadatan bagi manusia adalah Baitullah yang ada di Bakkah (Makkah). Rumah
yang diberkahi oleh-Nya dan menjadi petunjuk bagi manusia dan kehidupan dari
mahluk lain yang ada di alam semesta. Tentunya yang dimaksud sebagai rumah
peribadatan disini adalah; Ka’abah. Dan sejatinya Ka’abah itu pula, yang
sesungguhnya dijadikan simbol dari Alquran. Karena Alquran memang merupakan
petunjuk dari-Nya bagi manusia, dan juga kehidupan lain yang ada di alam
semesta ini. Bangunan itu pastinya dibangun oleh nabi Adam as. Karena setelah
diturunkan dari dalam syurga, sebagai manusia dia terikat oleh ketentuan untuk
beribadah kepadanya. sebagaimana dikatakan pada QS.51 Adz Dzaariyaat ayat 56; bahwa
Dia tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Tentang
bagaimana bentuk rumah peribadatan seharusnya dibangun, serta dimana lokasinya,
tentu semua itu atas petunjuk-Nya. Walaupun tentu bentuknya belum sempurna seperti
sekarang, dimana pada periode berikutnya nabi Ibrahim ikut serta memperbaiki
dan meninggikan bangunan Ka’abah.
Selanjutnya pada QS. 3 Ali Imraan
ayat 97 itu juga dikatakan, bahwa barang siapa yang memasuki Baitullah atau
Ka’abah menjadi amanlah dia. Pada bagian ayat ini juga ada bagian yang harus
diperjelas. Karena Ka’abah sebagai bangunan yang terbuat dari batu, memang
merupakan simbol Alquran. Karena pada dasarnya tidak semua orang yang dapat
memasuki bangunan Ka’bah pada setiap waktu
kecuali mungkin petugas yang membersihkan bagian dalam Ka’abah atau keluarga
kerajaan Arab Saudi. Kalau pun kita dapat memasukinya, kita tetap tidak akan
merasa aman. Karena berada di dalam bangunan batu dengan satu pintu yang
biasanya selalu tertutup, yang pasti kita akan merasa pengap karena panas dan
mungkin kekurangan oksigen. Tetapi sebagai simbol Alquran, Ka’abah dapat
dimasuki oleh siapa pun di setiap saat. Dan bagi mereka yang “memasukinya”, dengan cara membaca,
mempelajari, memahami serta mengamalkan petunjuk Allah di dalam Alquran itu
dalam hidupnya. Maka pastinya akan amanlah dia, karena apa yang dilakukannya
memang sesuai dengan kehendak-Nya.
Pada sisi lain dengan bentuk yang
menyerupai kubus, Ka’abah terdiri dari 6
bidang. Dimana sebagai simbol dari Alquran sesungguhnya Alquran juga dibagi
dalam 6 pengelompokan, berdasarkan pembagian surat-surat di dalam sebuah juz,
seperti berikut ini.
tabel dari pengelompokan
surat-surat di dalam juz pada Alquran
klmpok
|
kategori pembagian surat
|
no. juz
|
jml.
|
1.
|
surat-surat
utuh
|
17, 28, 29 dan 30
|
4
|
2.
|
sebagian
surat
|
2 dan 5
|
2
|
3.
|
surat
utuh + sebagian surat
|
1, 15, 18 dan 26
|
4
|
4.
|
sebagian
surat + surat utuh
|
14, 16, 25 dan 27
|
4
|
5.
|
sebagian
surat + surat utuh + sebagian surat
|
11, 13, 19, 20, 21, 22, 23
dan 24
|
8
|
6.
|
sebagian
surat + sebagian surat
|
3, 4, 6, 7, 8, 9, 10 dan 12
|
8
|
jumlah seluruh juz =
|
30
|
Dalam hal ini yang dimaksud sebagai
surat yang utuh di dalam pengelompokan surat-surat di dalam juz, dapat terdiri
dari satu surat atau lebih. Jadi dengan mengikut sertakan angka dalam kajian
Alquran. Disini terlihat bahwa angka dapat
lebih memperjelas suatu petunjuk yang sebelumnya tidak, atau belum jelas untuk
dipahami sebagaimana tertulis di dalam Alquran berupa huruf-huruf.
Saya percaya,,mendiang alm.Loekman mendapat hidayah Allah,sehingga meneliti al Quran dari sisi Numeriknya. ( mungkin Allah ingin menyampaikan pesanNya,dari dua sisi- verbal dan numerik..)
BalasHapusIni sangat saya hargai. Silahkan dilanjutkan,semoga Alloh memudahkan.