Banyak
ayat di dalam Alquran walau bersifat muhkamat, jelas dan gamblang karena kata-katanya
dapat diterjemahkan. Tetapi terkadang tetap membutuhkan penjelasan lebih lanjut
agar dapat dipahami, karena tetap masih tersamar. Contohnya apa yang disampaikan
pada QS. 2 Al Baaqarah ayat 144 dan 150;
“Sungguh
Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Alkitab (Taurat
dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah
benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan (144). Dan dari mana saja kamu berangkat maka palingkanlah wajahmu ke
arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah
wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang
yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu
mendapat petunjuk “(150).
Ayat
ini berbicara tentang pemindahan arah kiblat.
Dimana pada awalnya umat Islam
menghadap ke Masjidil Aqsha di Yerusalem, ketika melaksanakan ibadah shalat.
Dengan turunnya ayat ini, Allah memerintahkan agar umat Islam kemudian berkiblat
ke arah Ka’abah yang terletak di Masjidil Haram. Memang sangat menarik bunyi
dari kedua ayat yang bernada perintah ini. Karena kalau kita menerima perintah dari
ayat itu apa adanya. Untuk selalu memalingkan wajah ke arah Masjidil Haram, dimana
saja kita berada. Maka sesungguhnya perintah Allah itu, sampai kapan pun rasanya
tidak akan pernah dapat dilaksanakan. Bagaimana manusia dapat melakukan
kegiatan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalau setiap saat
selalu memalingkan wajah ke arah Masjidil Haram? Apalagi bagi mereka yang
berprofesi sebagai pengemudi kendaraan. Akan banyak terjadi hal yang tidak
diinginkan, bahkan kecelakaan. Kalau setiap orang di setiap saat, hanya memalingkan
wajah atau pandangan ke satu arah yang sama. Tetapi kalau perintah ini hanya merupakan
suatu ungkapan terhadap suatu pesan tertentu, pesan yang sebenarnya berada
disebaliknya. Maka menjadi kewajiban kita bersama untuk mengungkap dan
mengetahui maksud sebenarnya dari pesan tersebut. Agar tidak jadi hujatan atau
olok-olok, dari mereka yang memang tidak mengerti.
Jika
diperhatikan denah dari Masjidil Haraam, dan juga bentuk fisik bangunannya, serta
bentuk dari tangan orang yang sedang bersyahadat di dalam ibadah shalat. Dimana
orang itu mengacungkan jari telunjuk kanannya, dalam posisi yang terbalik. Disini
terlihat ketiga gambar itu menyerupai huruf MIIM yang dituliskan seperti ini; ( ). Perhatikan dan coba bandingkan bentuk huruf
MIIM itu dengan ketiga gambar di bawah ini, apakah memang terlihat ada kesamaan
atau tidak. Huruf ini merupakan huruf ke 24 dalam susunan secara alfabetis huruf-huruf
hijaiyah. Sebagai huruf ke 24 dia berkorelasi dengan nomor surat. Dimana surat
ke 24 adalah; surat AN NUUR yang berarti CAHAYA. Inilah mungkin mengapa Dia
menyuruh kita memalingkan wajah ke arah Masjidil Haraam, karena disana ada
Cahaya. Tetapi Cahaya apa yang sebenarnya ada disana?
Kalau
ada yang mengatakan bahwasanya kompleks Masjidil Haraam yang terlihat menyerupai
huruf MIIM ( ) karena dibentuk oleh adanya fisik bangunan, atau dengan kata
lain dibuat secara sengaja seperti itu. Maka kita akan membuktikan disini, bahwasanya
fisik bangunan yang menyerupai huruf MIIM, hanya mengikuti apa yang terjadi
disitu. Berupa dua peristiwa yang dilakukan secara bersamaan, ketika sedemikian
banyaknya jama’ah dari berbagai penjuru dunia melaksanakan ibadah Thawaf mengelilingi
Ka’abah, dan ibadah Sya’i berlari-lari kecil di antara bukit Shafa dan bukit
Marwah. Dimana peristiwa itu dapat saja terjadi pada saat pelaksanaan ibadah
Hajji yang berlaku setahun sekali, atau pada pelaksanakan ibadah ‘Umrah yang
berlaku di setiap saat. Jadi dari dua bentuk peribadatan, yaitu; Thawaf dan
Sya’i yang dilakukan secara bersamaan, dengan sendirinya akan terbentuk huruf
MIIM ( ). Karena semakin banyak orang yang melakukan
Thawaf, semakin melebar garis lingkaran yang terbentuk. Dan semakin banyak
orang yang melakukan Sya’i, semakin melebar pula garis lintasannya. Dimana akhirnya dua buah garis yang dibentuk
oleh banyaknya orang yang Thawaf dan Sya’i. Akan bertemu pada satu titik,
sehingga terlihat seperti huruf MIIM ( ), ilustrasinya akan terlihat seperti di bawah ini.
Kata
Masjidil Haraam atau Al Masjid Al Haraam,
dituliskan di dalam Alquran, dengan susunan huruf-huruf hijaiyah seperti ini.
Untuk
melihat lebih jauh, apa yang sebenarnya tersembunyi di balik perintah-Nya agar
kita selalu memalingkan wajah ke arah Masjidil Haraam. Maka kita harus mengurai huruf-huruf dari
kata Masjidil Haraam tersebut. Penguraian di mulai dengan cara memisahkan kata
Al Masjid dan Al Haraam menjadi dua bagian. Dimana kata Al Masjid diletakkan
pada bagian, atas, dan kata Al Haraam diletakkan di bagian bawahnya. Sesudah
kedua kata itu dipisahkan, susunannya akan tampak seperti pada tabel 1 di bawah
ini.
Apa bila kita lepaskan huruf Aliif-laam
( ), dan hanya di ambil kata dasarnya
saja. Maka dari kata Al Masjid dan Al Haraam itu, akan didapatkan kata MASJID yang
dituliskan dengan 4 huruf, dan kata HARAAM yang juga ditulis dengan 4 huruf, sehingga
semuanya berjumlah 8 huruf. Kata MASJID sendiri disamping mempunyai pengertian
SUJUD, juga merupakan tempat dimana umat Islam melaksanakan ibadah shalat. Sedangkan
kata HARAAM mempunyai pengertian haram atau suci. Dimana Masjidil Haraam tersebut
terjaga dari segala perbuatan yang bersifat maksiat, dan terlarang bagi non
muslim untuk memasukinya. Secara sederhana kata Al Masjidil Al Haraam dapat dipahami
sebagai suatu Tempat Suci yang terletak di Kota MAKKAH. Tempat dimana
umat Islam melakukan peribadatan kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Tempat yang
menjadi bagian dari pelaksanaan ibadah Hajji yang dilaksanakan setahun sekali,
dan juga ibadah ‘Umrah yang dapat dilaksanakan setiap saat. Dengan adanya bangunan
Ka’abah disitu, maka Masjidil Haraam juga menjadi bagian dari kiblat umat Islam
ketika melaksanakan shalat fardhu lima waktu dalam sehari semalam, atau pun shalat
sunnah. Selanjutnya setelah huruf Aliif-laam
( ) dilepaskan, maka pada tabel 2, kata
MASJID dan kata HARAAM akan terlihat seperti di bawah ini.
Kata MASJID di mulai dengan huruf MIIM, dan
kata HARAAM juga di akhiri oleh huruf MIIM. Jadi pada penulisan kata MASJID dan
kata HARAAM, terlihat ada dua huruf yang berulang, yaitu huruf ke 24, MIIM ( ).
Apabila salah satu huruf yang berulang, yaitu; huruf MIIM yang pertama, yang terdapat
pada kata MASJID dihilangkan, maka dia akan menyisakan 7 huruf. Bilangan tujuh
ini sama banyaknya dengan jumlah menara di Masjidil Haraam. Ketika kompleks
Masjidil Haraam belum diperluas dan belum diadakan perubahan, sehingga jumlah
menara menjadi sembilan buah seperti sekarang ini. Bilangan tujuh ini menjadi
penting, karena dia mewakili banyaknya tumpuan ketika orang sedang bersujud.
Tujuh titik tumpuan sujud itu adalah, bagian dahi di kepala, dua bagian telapak
tangan kanan dan kiri, dua bagian lutut kanan dan kiri dan dua ujung bagian
kaki kanan dan kirii. Dimana kata Sujud juga merupakan simbolisasi dari
nilai-nilai keta’atan, serta kepatuhan manusia kepada-Nya. Bilangan tujuh juga
merupakan banyaknya jumlah bilangan yang harus dilakukan, ketika orang melaksanakan
ibadah Thawaf dan Sya’i, di Masjidil Haraam. Ketujuh huruf yang berasal dari
dua kata itu, dapat dilihat pada Tabel 3. Pada bagian ini, nomor urut dari
setiap huruf secara alfabetis disertakan.
Selanjutnya apabila nilai angka yang
terdapat pada ke tujuh huruf itu dijumlahkan; 24+1+10+6+8+5+12. Maka akan
didapatkan nilai angka atau bilangan baru sebanyak; 66. Angka atau bilangan 66
ini tidak ada korelasinya dengan jumlah ayat pada suatu surat, maupun dengan
juz yang jumlahnya hanya 30. Bilangan ini hanya berkorelasi dengan nomor urut
surat. Nomor urut surat ke 66 adalah surat AT TAHRIIM, yang artinya; MENGHARAMKAN. Kata Mengharamkan
ini tidak jauh berbeda pengertiannya dengan kata al Haraam, yang berkaitan
dengan al Masjid al Haraam. Atau memang dari sinilah bermula kata al Haraam,
yang berkaitan dengan al Masjid al Haraam?
Apabila ketujuh huruf tersebut digabungkan
dan dihitung jumlah dari seluruh ayatnya. Maka hasil penjumlahan ayat dari
ketujuh surat tersebut, ada sebanyak 651
ayat. Kemudian jumlah ayat itu dibagi dengan bilangan 7, yaitu; bilangan yang
mewakili ketujuh huruf dan juga mewakli ketujuh menara pada bangunan Al Masjid
Al Haraam yang lama. Maka akan didapat jumlah bilangan sebanyak; 651:7 = 93.
Hal ini mengindikasikan ketujuh menara tersebut mempunyai besaran atau
ketinggian yang sama, yaitu; 93. Walaupun dalam hal ini tidak diketahui secara
tepat atau pasti. Apakah bilangan ini menyiratkan satuan meter, satuan inci,
hasta atau ukuran yang lainnya. Rincian penghitungan terhadap jumlah ayat dari
ketujuh surat, dapat dilihat pada tabel 4.
Angka atau bilangan 93, dapat
berkorelasi dengan ayat dan nomor surat di dalam Alqur’an, yaitu; QS. 27 AN
NAML yang berarti SEMUT, dengan jumlah ayat sebanyak 93 dan QS. 93 ADH
DHUHAA, yang berarti; WAKTU DHUHA. Al Masjidil Al Haraam dimana terdapat
Kaabah di bagian tengahnya, merupakan kiblat umat Islam saat melaksanakan
ibadah shalat, baik fardhu maupun sunnah. QS. 93 Adh Dhuhaa yang berarti Waktu Dhuha, mengingatkan kita pada
salah satu waktu shalat sunnah, yaitu shalat sunnah Dhuha. Waktu Dhuha juga
merupakan waktu dimana orang sudah memulai kegiatannya sehari-hari. Bekerja
dalam upaya mencari nafkah yang halal untuk menghidupi dirinya dan keluarganya.
Sedangkan QS. 27 An Naml yang berarti Semut, adalah serangga yang sangat
disiplin dalam kerja berkelompok. Dengan pembagian tugas kerja yang baik,
terkoordinir secara rapih di bawah pimpinan ratunya. Demikian juga seharusnya pemahaman kita
terhadap pesan ibadah shalat, di dalam ajaran agama ini. Adanya pembagian waktu
yang jelas dan teratur sehubungan dengan ibadah shalat. Harus dipahami sebagai
cara Dia mengingatkan manusia kepada kedisiplinan terhadap waktu dan etos kerja,
sebagaimana semut melakukannya. Digalakkannya shalat berjama’ah atau
berkelompok di dalam ajaran agama ini. Hendaknya juga dimaknai sebagai dasar
untuk membentuk nilai kebersamaan dan kesatuan, di dalam kehidupan social
berdasarkan petunjuk-Nya di dalam Alquran. Tidak menafikan adanya perbedaan di
dalamnya. Karena pada dasarnya setiap individu pada posisinya masing-masing.
Seharusnya menjalankan fungsi serta peran yang berbeda-beda, yang telah
diamanatkan Allah kepadanya sebagai seorang khalifah di muka bumi, dengan
sepenuh kesadaran. Dibangunnya rasa kebersamaan dan kesatuan dalam kehidupan
sosial, adalah dalam rangka menuju tujuan bersama. Menuju Kiblat yang sama,
yaitu; kehidupan yang “rahmatan lil ‘alamin” sesuai dengan kehendak-Nya.
Selanjutnya
kita kembali lagi kepada kata kata MASJID dan kata HARAAM, yang sudah
dipisahkan menjadi dua bagian. Kemudian hubungkan huruf-huruf yang terdapat
pada kata MASJID dan kata HARAAM itu, dengan mengikuti gerakan sebagai berikut.
PERTAMA: hubungkan huruf
MIIM ( ) sebagai huruf awal dari kata MASJID, dengan
huruf haa kecil ( ) sebagai
huruf awal dari kata HARAAM. Selanjutnya hubungkan
lagi dengan huruf MIIM ( ) sebagai
huruf akhir dari kata SIRAAJ, dan hubungkan juga dengan huruf DAAL () sebagai huruf akhir dari kata MASJID. Gerakan
itu ditunjukkan dengan tanda panah berwarna BIRU, seperti terlihat pada table 5. Pada bagian ini, rangkaian
dari 4 huruf itu akan membentuk kata MUHAMAD (
), mengingatkan kita kepada nama dari Rasulullah. Hanya saja terlihat
disini pada huruf yang ketiga, yaitu; pada huruf MIIM ( )-nya tidak terdapat tanda SADDAH di atasnya,
sebagaimana biasa tertulis di dalam Alquran.
KEDUA; dengan
gerak yang sama, sebagaimana gerakan yang pertama. Sekarang kita hubungkan
huruf SIIN () dengan huruf RAA ( ), selanjutnya kita hubungkan lagi dengan
huruf ALIIF ( ) dan yang terakhir
hubungkan dengan huruf JIIM ( ).
Gerakan yang kedua ini ditandai dengan tanda panah berwarna MERAH. Dari rangkaian 4 huruf ini, kita dapatkan kata
SIRAAJ. Jadi dari uraian terhadap kata MASJID dan HARAAM, sekarang kita
dapatkan dua suku kata yang baru, yaitu; MUHAMAD dan SIRAAJ, sebagaimana
terlihat pada tabel 6. MUHAMAD mengingatkan kita pada nama Rasulullah,
sedangkan kata SIRAAJ, berarti; PELITA atau MATAHARI.
Dapat
dilihat pada table 6, bahwa nilai bilangan huruf dari kata MUHAMAD, adalah;
24+6+24+8 = 62, sedangkan nilai bilangan huruf dari kata SIRAAJ, adalah;
12+10+1+5 = 28. Ketika kedua nilai bilangan itu dijumlahkan, hasilnya adalah;
62+28 = 90. Jumlah
angka atau bilangan sebanyak 90 ini, hanya dapat dikorelasikan dengan nomor
surat, yaitu; surat ke 90 dengan judul; AL BALAAD, yang berarti NEGERI. Relevansi antara Al Masjid Al
Haraam dengan surat ke 90 Al Balaad. Karena Al Masjid Al Haraam, juga diyakini
oleh umat Islam sebagai suatu kawasan atau negeri yang suci. Dimana disitu juga
berlaku aturan atau hukum yang harus dipatuhi, sebagaimana selayaknya berlaku di
sebuah negeri.
Kalau
pada bagian pertama dari seluruh uraian ini, secara fisik kita melihat Masjidil
Haraam menyerupai huruf MIIM sebagai huruf ke 24 ().
Di bagian kedua, dari uraian terhadap kata MASJID dan HARAAM, kita dapatkan
kata MUHAMAD dengan nilai 62. Sedangkan pada uraian yang ketiga, didapatkan kata
SIRAAJ dengan nilai 28. Perhatikan gambarannya pada tabel 7 di bawah ini.
Dari ketiga
uraian tersebut, setelah nilai huruf itu dikonversikan kepada nilai bilangan,
sebagai nomor urut dari huruf-huruf tersebut. Maka didapatkan nilai bilangan
sebanyak; 24, 62 dan 28. Kalau nilai bilangan yang didapat dari ketiga uraian
ini dijumlahkan. Maka hasil akhirnya, adalah; 24+62+28 = 114. Jumlah bilangan
sebanyak ini, menunjukkan jumlah seluruh surat di dalam Alquran. Jadi perintah untuk selalu
memalingkan wajah ke arah Masjidil Haraam, dimana saja kita berada. Sebenarnya
merupakan ungkapan dari perintah-Nya kepada umat manusia. Untuk selalu
menghadapkan diri kepada Cahaya dan Petunjuk-Nya
di dalam Alquran, yang terdiri dari 114 surat. Dengan cara membaca,
mempelajari, memahami dan melaksanakannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Karena Alquran merupakan petunjuk dan Cahaya Ilahi bagi mereka yang
meyakininya. Agar manusia dapat selamat dan bahagia selama menjalankan
kehidupannya di muka bumi, dan kelak pada kehidupan akhirat yang abadi. Inilah bagian
dari kajian yang menyertakan angka atau bilangan terhadap petunjuk-Nya, yang
semula agak sulit untuk dipahami. Kalau hanya berdasarkan kajian tekstual saja.
Pada uraian
itu juga didapatkan kata MUHAMAD. Tetapi kata MUHAMAD ini, mungkin dianggap belum
mewakili nama Muhammad sebagai seorang nabi, sebagaimana biasanya di tuliskan
di dalam Alquran. Karena penulisan kata Muhammad di dalam Alquran biasanya
ditandai dengan tanda SADDAH ( ) di
atas huruf MIIM, yaitu pada huruf yang ketiga, untuk menunjukkan bahwa huruf
itu bersifat ganda. Sehingga dalam penulisannya dengan huruf latin pun. Pada
kata MUHAMMAD, juga ditempatkan dua huruf M, yaitu; pada urutan huruf yang
ke-lima dan ke-enam. Untuk melengkapi, atau mendapatkan adanya tanda SADDAH di
atas huruf MIIM yang ketiga. Maka dalam hal ini kita dapat menggunakan huruf
MIIM, yang awalnya merupakan simbol dari bentuk fisik Masjidil Haraam, untuk
dijadikan sebagai tanda SADDAH. Dengan cara menyatukan huruf MIIM yang ketiga
dari kata MUHAMAD, dengan huruf MIIM sebagai simbol dari MASJIDIL HARAAM. Ilustrasi
di bawah ini menunjukkan bagaimana huruf MIIM sebagai simbol dari Masjidil
Haraam, disatukan dengan kata MUHAMAD tanpa tanda Saddah.
Dengan demikian,
maka pada huruf MIIM yang ketiga, “sudah
terdapat tanda SADDAH”. Karena sudah ada dua huruf MIIM, pada urutan huruf
yang ketiga tersebut. Tetapi dalam hal ini patut juga diingat, bahwasanya tanda
baca seperti Fattah, Kasroh, Dommah, Sukun atau Saddah. Pada mulanya tidak
tercantum, di dalam awal penulisan Alquran. Setelah banyak terjadi perbedaan
cara baca atau cara melafazkan, yang disebabkan oleh begitu banyaknya dialek
yang berbeda di antara suku-suku di kalangan bangsa Arab. Baru kemudian tanda
baca dicantumkan di dalam penulisan Alquran dalam upaya penyeragaman. Jadi
sebenarnya penulisan kata MUHAMAD ( ) tanpa tanda Saddah, maupun kata MUHAMMAD ( ) dengan tanda Saddah. Pada dasarnya tetap
saja menunjukkan nama Muhammad, sebagai Rasulullah. Hanya saja dalam kajian numerik,
dimana setiap huruf diberi nilai angka sesuai urutannya secara alfabetis. Hal
ini menjadi penting untuk memperjelas nilai bilangan, sesuai dengan konteks
tertentu yang sedang dibahas.
Dengan
adanya tanda Saddah itu, kata MUHAMAD sekarang berubah menjadi MUHAMMAD.
Demikian juga dengan nilai bilangan yang menyertainya. Berubah menjadi;
24+6+24+24+8 = 86. MUHAMMAD dengan nilai baru sebanyak 86, kemudian disatukan
dengan kata SIRAAJ yang nilai hurufnya tetap tidak berubah, sebanyak 28 menjadi;
86+28 = 114. Dimana bilangan sebanyak 114 ini menunjukkan jumlah seluruh surat
di dalam Alquran. Mulai dari surat ke 1 Al Faatihah, sampai dengan surat ke 114
An Naas. Sedangkan dua bilangan 86 dan 28, pada bagian ini menjelaskan
bahwasanya Alquran yang terdiri dari 114 surat. Memang benar diturunkan di
Makkah sebanyak 86 surat, dan diturunkan di Madinna sebanyak 28 surat. Selain
itu, nilai bilangan dari kata MUHAMMAD sebanyak 86, atau sebanyak jumlah surat
Alquran yang diturunkan di kota Makkah. Menjadi bukti lain, yang memperjelas
bahwanya Muhammad sebagai seorang nabi, memang benar adalah penduduk dari kota
Makkah. Terlihat disini bahwa keterlibatan angka atau bilangan dalam uraian
tentang Alquran. Banyak memberikan kontribusi, terhadap hal-hal yang selama ini
belum terungkap.
Sebagaimana
awalnya uraian tentang Masjidil Haraam ini dimulai dari pengamatan terhadap
bentuk fisiknya, yang menyerupai huruf MIIM. Selanjutnya didapatkan kata
MUHAMAD dan kata SIRAAJ. Jadi urutan dari seluruh pengamatan itu tampak seperti
di bawah ini. Dimulai dengan adanya Cahaya, selanjutnya MUHAMAD dan kemudian Cahaya
lagi. Karena dalam hal ini Pelita atau lampu, demikian juga dengan Matahari,
tidak terlepas katannya dengan Cahaya.
Lebih
sederhana lagi, gambaran dari ketiga uraian itu tampak seperti berikut ini.
|
1.CAHAYA
|
2.MUHAMAD
|
3.CAHAYA
|
Menunjukkan
keberadaan MUHAMAD di antara dua CAHAYA di bagian kanan dan kiri. Bukankah ini gambaran
dari NUUR-MUHAMMAD yang selalu dibicarakan, dicari dan diharapkan orang untuk
didapatkan? Cahaya yang berlapis-lapis, seperti dikatakan pada QS. 24 An Nuur
ayat ke 35 yang berbunyi;
“ ……….. nuurun ‘alaa nuur ………..”, cahaya di atas cahaya.
Tetapi
karena nilai bilangan dari CAHAYA, MUHAMAD dan CAHAYA itu berjumlah; 24+62+28 =
114, yang berarti; Alquran yang berisikan 114 surat. Maka dapat disimpulkan bahwa
ungkapan tentang Nuur-Muhammad itu juga sebenarnya berbicara tentang Alquran. Tidak
berbeda dengan Masjidil Haraam yang juga bernilai 114. Ke arah mana kita diperinahkan
untuk selalu menghadapkan wajah. Agar kita selalu ingat untuk tetap mengamalkan
petunjuk-Nya, dimana pun kita berada. Petunjuk yang diwahyukan kepada Muhammad
sebagai utusan-Nya. Penerang bagi keselamatan hidup seluruh umat manusia, dunia
dan akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar